Kamis, 28 November 2013

Perusahaan yang Melakukan Prinsip Utilitarianisme

Apa itu Utilitarianisme?
Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. dalam konsep ini dikenal juga “Deontologi” yang berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban. Deontologi adalah teori etika yang menyatakan bahwa yang menjadi dasar baik buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia, sebagaimana keinginan diri sendiri selalu berlaku baik pada diri sendiri.
Menurut paham Utilitarianisme bisnis adalah etis, apabila kegiatan yang dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen dan masyarakat. jadi kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah memberikan kerugian.

Polusi pabrik sangat merugikan masyarakat

Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka menjadi sejahtera. berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. dalam teori sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di mana pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin merusaka kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan adanya upaya pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras tidak habis ditelan jaman.
Dalam analisa pengeluaran dan keuntungan, perusahaan memusatkan bisnisnya untuk memperoleh keuntungan daripada kerugian. Proses bisnis diupayakan untuk selalu memperoleh profit daripada kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya mengenai finansial, tapi juga aspek-aspek moral seperti halnya mempertimbangkan hak dan kepentingan konsumen dalam bisnis. Dalam dunia bisnis dikenal corporate social responsibility, atau tanggung jawab sosial perusahaan. Suatu pemikiran ini sejalan dengan konsep Utilitarianisme, karena setiap perusahaan mempunyai tanggung jawab dalam mengembangkan dan menaikan taraf hidup masyarakat secara umum, karena bagaimanapun juga setiap perusahaan yang berjalan pasti menggunakan banyak sumber daya manusia dan alam, dan menghabiskan daya guna sumber daya tersebut.
Kesulitan dalam penerapan Utilitarianisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas, merupakan sebuah konsep bernilai tinggi, sehingga dalam praktek bisnis sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku bisnis, seperti dalam segi finansial perusahaan dalam menerapkan konsep Utilitarianisme tidak terlalu banyak mendapat segi manfaat dalam segi keuangan. Manfaat paling besar adalah di dalam kelancaran menjalankan bisnis, karena sudah mendapat ‘izin’ dari masyrakat sekitar, dan mendapat citra positif di masyarakat umum. namun dari segi finansial, Utilitarianisme membantu (bukan menambah) peningkatan pendapat perusahaan.
Contoh Prinsip Utilitarianisme dalam Perusahaan
Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).
Unilever Indonesia Memiliki Visi :
Empat pilar utama dari visi kami menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan  kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju ke arah sana.
a)      Kami bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
b)      Kami membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain
c)      Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
d)     Kami akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan
Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami. Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa diri kami.
Dengan beberapa hal yang terkandung dalam perusahaan Unilever Indonesia, perusahaan tersebut dapat dikatakan telah melakukan prinsip Utilitarianisme.

Sumber:



Senin, 25 November 2013

Kejahatan Korporasi pada "Enron Corporation" dan Keterkaitannya dengan Etika Bisnis


Pendahuluan
Peristiwa penting yang membuat etika keuangan mengemuka pada abad ke-21 adalah runtuhnya  Enron dan kantor akuntan publiknya, Arthur Andersen. Esai Wiliam Thomas “The Rise and Fall of Enron” merinci tahap-tahap yang mengarah pada kehancuran Enron, termasuk penggunaan entitas-entitas dengan tujuan khususyang rumit untuk mengakses risiko modal atau risiko hedge. Kasus Enron telah membawa lebih banyak kerusakan bagi industri akuntansi daripada kasus-kasus lain dalam sejarah Amerika Serikat, termasuk runtuhnya Arthur Andersen. Tentu saja, tanggung jawab ettis para akuntan bukannya tidak pernah terdengar sebelum kasus Enron, namun peristiwa yang membawa Enron ke dalam kehancuran membuat indepedensi auditor dan tanggung jawab akuntan menjadi sangat penting, lebih dari sebelumnya.
Akuntansi merupakan salah satu dari beberapa profesi yang melayani fungsi yang sangat penting dalam sistem ekonomi itu sendiri. Bahkan Milton Friedman, pendukung utama ekonomi pasar bebas, percaya bahwa pasar hanya dapat berfungsi jika kondisi-kondisi tertentu terpenuhi.Secara universal diakui bahwa pasar harus berfungsi dalam kerangka aturan hukum, harus menerima informasi yang lengkap, dan harus bebas dari penipuan dan kecurangan. Memastikan terpenuhinya kondisi-kondisi ini merupakan fungsi internal yang penting bagi sistem ekonomi berbasis pasar bebas.
Menurut sebuah laporan dari Pricewater house Coopers, lebih dari 1.000 perusahaan terbuka harus menyatakan ulang laporan keuangan mereka selama lima tahun terakhir karena adanya ketidakberesan dalam praktik akuntansi (accounting irregularities); rata-rata perusahaan kehilangan kira-kira 6% pendapatan karena penipuan atau penyalahgunaan. Secara historis, lebih dari 50% CFO melaporkan bahwa mereka ditekan oleh CEO mereka untuk menyalahsajikan laporan keuangan atau terlibat dalam penipuan.
Sejak Enron Corporation bangkrut pada tahun 2001, topik etika bisnis sering muncul dihalaman-halaman depan media. Yang menyedihkan adalah panjangnya daftar para pemimpin perusahaan dan bisnis yang selama ini terlibat dalam perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan etika. Orang-orang yang yang terlibat didalam skandal etis termasuk Martha Stewart, Kenneth Lay, Jeffrey Skilling, Andrew Fastow, Dennis Kozlowski, John J. Rigas, Richard M. Scrushy,Samuel Waksal, Richard Grasso, dan Bernard Ebbers.

Sejarah singkat Enron
Enron didirikan pada tahun 1985, yang merupakan hasil merger antara perusahaan Houston Natural Gas dan Internorth, sebuah perusahaan pipa. Pada saat itu, Enron dipimpin oleh Kenneth Lay sebagai CEO dan hanya berkecimpung dalam industri pipa gas.
Selama proses merger, Enron mempunyai hutang yang cukup besar. Ditambah dengan masalah peraturan pemerintah yang mempersulit industri pipa, Enron mempunyai hutang yang lebih besar lagi. Untuk mengatasi hutang tersebut, Kenneth Lay berkonsultasi pada McKinsey&Co. McKinsey pada saat itu menugaskan Jeffrey Skilling.
Selama masa penugasan, Skilling memberikan ide yang brilian, yaitu memperlakukan gas sebagai objek derivatif. Tertarik dengan ide tersebut, Lay memberikan tawaran pada Skilling untuk masuk ke Enron dan mengepalai sebuah divisi baru, yaitu Enron Finance Corp pada tahun 1990. Jeff Skilling menyanggupi tawaran tersebut, dengan syarat diperbolehkannya ‘mark to market accounting’ atau yang sering disebut dengan metode ‘fair value’. Setelah meminta ijin pada US Securities and Exchange Commission (US SEC), Enron diperbolehkan untuk menggunakan praktik ‘mark to market accounting’.
Dengan menjadikan gas sebagai objek jual beli, Enron perlahan-lahan mulai bangkit. Selama perjalanan ini, Jeff Skilling diangkat sebagai COO Enron dan merekrut berbagai karyawan-karyawan yang unggul dalam future/derivative. Dalam perekrutan tersebut, Jeff Skilling merekrut Andrew Fastow.
Seiring dengan berhasilnya jual beli gas, Enron mulai masuk pada jual beli pada industri yang berbeda, seperti listrik, batu bara, kertas, air dan bahkan cuaca dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar. Sehingga pada tahun 1998, Enron mempunyai lebih dari sepuluh objek komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Keberhasilan Enron dalam menjual beli objek komoditas tersebut, mengakibatkan melonjaknya nilai saham dan ambisi Kenneth Lay dan eksekutif lainnya. Untuk mempertahankan nilai sahamnya, Jeff Skilling menutupi kerugian-kerugian investasinya dengan menerapkan prinsip ‘mark to market accounting’ dan dibenarkan oleh KAP Arthur Anderson. Selain itu, Andrew Fastow juga melakukan manipulasi dengan membuat berbagai related party dan ratusan EBK.
Pada tanggal 29 November 1999, Enron meluncurkan Enron Online. Enron Online merupakan terobosan baru dalam melakukan jual beli energi secara online. Dalam 3 bulan setelah Enron Online diluncurkan, saham Enron naik lebih dari 30%.
Tidak lama dari peluncuran Enron Online, Enron membeli telekomunikasi DSL (broadband) dan disimpan. Pada saat itu, para analis bertanya-tanya, mengapa Enron tidak menjual beli broadband tersebut, seperti pada komoditi lainnya. Hingga pada tanggal 19 Juli 2000, Enron mengumumkan kerjasama dengan perusahaan video, BlockBuster, untuk menawarkan jasa rental video melalui DSL. Diperkirakan, pada akhir tahun 2000, jasa tersebut sudah siap. Tidak sampai dua hari kemudian, saham Enron melonjak lebih dari 34%. Perjanjian dengan BlockBuster ternyata tidak berujung dengan baik, dan akhirnya gagal. Namun, dengan menggunakan mark to market accounting, Enron mencatat penghasilan sebesar US$53,000,000.
Pada tanggal 23 Agustus 2000, saham Enron mencapai posisi paling tinggi, yaitu US$90 per lembar saham. Namun, harga tersebut tidak berlangsung lama. Dampak dari gagalnya perjanjian dengan BlockBuster mengakibatkan turunnya harga saham Enron. Selain itu, investasi Enron yang bernilai lebih dari US$1,000,000,000 di India, gagal dan dinyatakan tutup pada bulan Juni 2001.
Jeff Skilling yang baru diangkat menjadi CEO pada bulan Februari 2001, mengundurkan diri pada tanggal 14 Agustus 2001 karena alasan pribadi. Selain itu, Jeff Skilling juga menjual semua saham Enron yang dimilikinya sebesar kurang lebih US$60,000,000. Pada saat itu, harga saham Enron sudah turun sampai dengan US$40 per lembarnya.
Setelah Jeff Skilling mengundurkan diri, Sherron Watkins yang menjabat sebagaiVice President di Enron, mengirim surat kepada Kenneth Lay. Pada surat tersebut, Sherron Watkins menyampaikan pesan bahwa terdapat banyak unit bisnis (yang terdiri dari partnership dan EBK) dari Enron yang tidak dicatat di laporan keuangan Enron, walaupun sebenarnya harus dicatat. Unit-unit bisnis tersebut mempunyai kinerja yang buruk. Sehingga, apabila unit-unit bisnis tersebut dikonsolidasikan dengan Enron, akan berdampak sangat negatif pada Enron.
Tidak lama kemudian, Sherron Watkins dan Kenneth Lay melakukan meeting. Pada pertemuan tersebut, Sherron bersikeras bahwa terdapat kebocoran di Enron dan menganggap kebocoran tersebut dilakukan oleh Jeff Skilling dan Andrew Fastow. Namun, Kenneth Lay beranggapan bahwa semua unit bisnis yang ada, sudah mendapat persetujuan dari KAP Arthur Andersen, Vinson & Elkins law firm beserta semua BOD Enron. Kenneth Lay berjanji pada Sherron untuk melakukan investigasi internal pada unit-unit bisnis.
Keadaan semakin bersitegang pada saat Sherron Watkins memaksa Kenneth Lay untuk melakukan revaluasi ulang terhadap laporan keuangannya. Setelah menimbulkan masalah internal ini di Enron, Sherron Watkins mendapat banyak kritikan karena terlalu agresif. Andrew Fastow ingin agar Sherron Watkins dipecat dan menyita komputernya.
Pada akhirnya, tanggal 12 Oktober 2001, KAP Arthur Anderson menyarankan untuk melakukan konsolidasi pada beberapa SPE yang dimilikinya. KAP Arthur Anderson mulai menghancurkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Enron pada tanggal tersebut. Berdasarkan saran dari KAP Arthur Anderson tersebut, Enron melakukan konsolidasi pada dua SPEnya, yaitu Raptor dan Condor. Dengan dikonsolidasikannya SPE tersebut, Enron menjadi rugi dan pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron mengumumkan kerugian sebesar US$618,000,000 dan US$1,010,000,000 non recurring charge. Tidak lama kemudian, 17 Oktober 2001, US SEC mengumumkan pemeriksaan terhadap laporan keuangan Enron.
Atas investigasi tersebut, ditemukannya berbagai fraud yang timbul akibat kompleksnya SPE yang dimiliki oleh Enron. Andrew Fastow kemudian ditangkap. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh US SEC, dan pada tanggal 8 November 2001, Enron merevisi laporan keuangannya selama lima tahun ke belakang, dan mencatat kerugian sebesar US$586,000,000.
Sampai pada tanggal 28 November 2001, saham Enron berada di bawah US$1 untuk per lembar sahamnya. Sehingga pada tanggal 2 Desember 2001, Enron dinyatakan bangkrut.

Kesimpulan
Dari sejarah singkat Enron tersebut, dan beberapa sumber yang telah saya baca, saya dapat mengetahui beberapa elemen mengenai implementasi maupun pelanggaran yang dilakukan oleh Enron, Diantaranya:

1. Struktur Organisasi
Enron menggunakan struktur organisasi yang sangat kompleks, bahkan dengan struktur organisasi, Enron dapat memanipulasi laporan keuangan. Dengan menggunakan struktur yang sedemikian rumit, Enron dapat menaikkan profit dan menurunkan hutang. Fastow juga menggunakan struktur yang rumit dengan beberapa partnernya, seperti ‘Friends of Enron’, sehingga status mereka sebagai pihak ketiga dalam masalah EBK, tidak dipermasalahkan. Isu atas kerumitan struktur ini, kami masukkan ke dalam kategori defisiensi pengendalian yang bersifat mayor.

2.Nilai Integritas dan Etika
Enron mempunyai nilai yang selalu diberitakan bahwa dijunjung tinggi oleh Enron dan karyawannya, yaitu “brightly colored banners heralding employees’ commitment to Enron’s ‘Vision and Values’: Respect! Integrity! Communication! Excellence!”. Bahkan, Ken Lay dan Jeff Skilling ikut tampil dalam iklannya yang mempromosikan nilai tersebut. Namun hal berbeda dengan kenyataan. Skilling yang terobsesi dengan rasio-rasio di laporan keuangan, melakukan transaksi yang berdampak pada jangka pendek. Segala usaha, baik beretika maupun tidak, dilakukan demi mencapai naiknya harga saham. Di lain pihak,Andrew Fastow berupaya untuk melakukan berbagai EBK agar mendapat keuntungan pribadi. Karena masing-masing orang tersebut adalah manajemen senior, maka perilaku dan tujuan mereka akan sangat mempengaruhi budaya kantor secara keseluruhan. Seperti pada contohnya, Skilling memberikan bonus yang sangat berlebihan apabila karyawan dapat mencapai target, walaupun belum tentu target tersebut dilakukan dengan etis. Oleh karena itu, kami memutuskan bahwa dalam elemen ini, terdapat defisiensi pengendalian dan bersifat mayor.

3. Komitmen terhadap kompetensi
Pada umumnya posisi disesuaikan dengan potensi karyawan. Namun, manajemen senior Enron akan menaikjabatankan karyawan-karyawan yang tunduk, menurut dan bersedia untuk bekerja sama dengan manajemen senior Enron. Sehingga, karyawan-karyawan inti Enron merupakan karyawan yang bersedia untuk melakukan fraud, mudah diatur dan lain sebagainya. Dengan demikian, Enron akan mudah untuk memanipulasikan laporan keuangan. Poin ini kami putuskan bahwa terdapat defisiensi yang bersifat mayor pada pengendaliannya.

4. Kebijakan Sumber Daya Manusia

Dalam merekrut pegawai, kita harus memilih pegawai yang jujur, berambisi, baik dan lainnya. Namun, tampaknya di Enron kejujuran, kebaikan dan lain sebagainya tidak diperhitungkan. Bahkan, budaya di Enron secara tidak langsung mengatakan ‘Semakin tidak jujur, semakin baik’. Oleh karena itu, menurut kami terdapat defisiensi pengendalian, namun tidak bersifat mayor.

Sumber :
Hartman, Laura dan Joe DesJardins. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011


Minggu, 03 November 2013

Contoh Kasus Etika Bisnis

Kasus Etika Bisnis yang terjadi di PT. PLN

PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN adalah:
  1. Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
  2. Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Analisa :
  1.  Jika dilihat dari teori etika deontologi : Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.
  2. Jika dilihat dari teori etika teleologi : Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.
  3. Jika ditinjau dari teori utilitarianisme : Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. PLN.
Kesimpulan :
Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Saran :Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata, ada baiknya Pemerintah membuka kesempatan bagi investor untuk mengembangkan usaha di bidang listrik. Akan tetapi Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat. Atau Pemerintah dapat memperbaiki kinerja PT. PLN saat ini, sehingga menjadi lebih baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33.
Sumber : http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/